Basa-basi Karena Hampir Basi

Niatnya mau nulis dalam Bahasa Inggris, cuma karena lagi males mikir dan males cari terjemahan yang cocok, apalagi mikirin grammar, jadi tambah males buat nulis dengan Bahasa Inggris. Eh, kayaknya sekarang udah jarang nulis dengan kalimat baku atau kalimat serius ya, maaf kalau ada yang kurang berkenan, ini sebenernya cuma pengen nulis dengan jujur dalam keadaan hati dan otak aja.

Baiklah, sebelumnya, saya kenal linux sekitar tahun 2006 - 2007, waktu itu masih sekolah di SMK Negeri 2 Tasikmalaya jurusan Teknik Komputer dan Jaringan, nama distro yang pertama kali akrab di telinga adalah slackware, karena senior saya Kang Akmal sering bahas ini, sering terdengar dengan tidak sengaja, padahal sampai sekarang juga itu slackware belum pernah dicoba :D. Distro yang pertama kali dicoba itu knoppix bonus dari buku pengenalan dasar tentang linux, dengan KDE, lupa KDE versi apa, live CD, sejak itu merasa takjub dengan linux, bisa Live CD, gak perlu install buat pake. Amazing!

Cinta Pertama

Sempat PDKT sama KDE, di Knoppix, di PCLinuxOS, tapi bukan ini cinta pertama saya, meskipun suka dengan tampilan dan efek visual di KDE, tidak membuat jatuh cinta pada desktop yang satu ini. Padahal, KDE itu desktop paling cantik, sanggup menyaingi kecantikan Windows Vista, canggih.

Cinta pertama adalah Gnome, yang memang rival langsung dengan KDE, pemain gede di DE memang dua itu, mau apa lagi, zamannya Gnome di Ubuntu 6.10 Feisty Fawn. PDKT dengan Gnome dimulai dari coba-coba Red Hat punya sekolah, awalnya memang bingung kenapa harus ada 3 menu di panel, dan kenapa dari atas gak seperti KDE dan desktop di Windows? Kenapa begini? Kenapa begitu? Ah, ini yang bikin pasti lagi mabok.

Tapi ternyata, dengan bertanya-tanya itu jadi bikin sering ngoprek, jadilah panel yang mirip KDE, mirip Windows, dengan tombol ala start menu di bawah dan berjejer application list. Ini yang membuat jatuh cinta, mudah dikostumisasi. KDE memang bisa dikostumisasi, tapi tidak sampai semudah dan semengejutkan di Gnome. Karena masih sering dual boot dengan windows, Gnome dengan settingan ala Windows adalah a desktop that fit my needs [titik]

[caption id="attachment_3750" align="alignnone" width="800"]Diambil dari sini http://www.linuxscreenshots.org/?release=Ubuntu%206.10 Diambil dari sini http://www.linuxscreenshots.org/?release=Ubuntu%206.10[/caption]

Berpaling Hati ke yang Lain

Setelah lulus, 2009, lama gak pake linux, lebih sering nguyek di Windows XP, di PC kantor tentunya, Windows Vista terlalu mewah dan terlalu ngeselin buat dipake. Linux? Ah, gak bisa buat nyambi maen game. Tapi saya masih setia menanyakan kabar, atau sekedar mencari berita tentang perkembangan Linux, bahkan saya juga sempet download Ubuntu 9.10 Karmic Koala dan OpenSuse dan sekedar run Live CD. Masih seperti itu, masih Gnome dan KDE yang tidak banyak perubahan, secara visual memang tidak banyak perubahan selain penambahan fitur, saya pun merasa bosan.

Kebosanan terhadap Linux Desktop terusir dengan . . . Modding desktop Windows XP di netbook yang baru dibeli :D

[caption id="attachment_3751" align="alignnone" width="700"]Windows XP + Rainmeter, keren kan? Windows XP + Rainmeter, keren kan?[/caption]

Lama dengan Windows XP, saya pun kangen linux, lalu coba Ubuntu 9.10 Netbook Remix, alasannya karena kayaknya netbook Asus eeePC punya saya lebih cocok kalau pake distro khusus buat netbook. Lalu gimana desktopnya? Well, absurd. Menurut saya, inilah awal dari Unity Desktop.

[caption id="attachment_3752" align="alignnone" width="960"]Yang ini dicolong dari http://www.linuxscreenshots.org/?release=Ubuntu%20Netbook%20Remix%209.10 Yang ini dicolong dari http://www.linuxscreenshots.org/?release=Ubuntu%20Netbook%20Remix%209.10[/caption]

Kecewa, lalu download Ubuntu 9.10 Karmic Koala yang biasa, install dual boot Windows XP, tetep aja yang selalu dipake Windows XP, beberapa bulan kemudian jadi single boot Windows XP saja karena space storage sudah kurang.

Patah Hati

Saya kembali ke Linux tahun 2011, setelah berpindah rantau dari Jambi ke Yogyakarta karena bekerja di pabrik mainan elektronik berjalan, saya kembali ke Linux untuk menghormati kerja keras developer Microsoft untuk mulai mengurangi penggunaan software bajakan (walaupun masih aja dual boot Windows)

Saya mulai menggunakan linux lagi dengan Ubuntu 11.10 Oneiric Ocelot yang saat itu masih Alpha 2, lalu mendapati Unity Desktop yang diluar nalar, respon pertama adalah "anjrit, ini serius ubuntu mau pake desktop macam ini?" saya pun patah hati.

[caption id="attachment_3753" align="alignnone" width="960"]Ini juga nyolong dari sini nih http://www.linuxscreenshots.org/?release=Ubuntu%2011.10%20Alpha%202 Ini juga nyolong dari sini nih http://www.linuxscreenshots.org/?release=Ubuntu%2011.10%20Alpha%202[/caption]

Setelah kecewa dengan Ubuntu + Unity-nya, saya install Gnome 3 yang diatas screenshot memang lebih menarik dari Unity. Hasilnya? "Gnome kampret! Ide macam apa ini? Balikin Gnome lama, please!" tapi tetep saya pake karena ternyata Gnome 3 lebih mudah buat dimodifikasi penampilannya.

Lalu sejenak hijrah ke OpenSuse dengan KDE desktopnya, tapi tidak bertahan lama karena merasa tidak nyaman, pengen balikan sama cinta pertama, tapi semua sudah terlambat.

Terombang-ambing

Kecewa dengan Gnome dan Unity (walaupun Gnome 3 tetep dipake juga), akhirnya mendapat sedikit obat, secara tidak sengaja menemukan xfce, DE yang belum pernah dicoba sebelumnya di Ubuntu Studio 11.10, saat itu xfce sudah memenuhi semua kebutuhan rasa kangen sama gnome classic, tapi memang tidak senyaman gnome.

Kesan pertama dengan xfce adalah ringan, simple, mudah digunakan, tapi agak ribet buat kostumisasi. Bertahan beberapa bulan, lalu balik lagi ke Windows, sekarang kasih coba Windows 7, dan tetep balik ke Windows XP juga setelah Windows 7 64 bit suka bikin crash Flight Simulator 2004.

Petualangan Dimulai

Muncul Ubuntu 12.04 Precise Pangolin mengawali petualangan saya, dari Unity, Gnome, xfce, hingga LXDE + OpenBox saya jejalkan di satu installasi distro di PC yang baru saya format habis Harddisknya dan memutuskan full di linux. Walaupun begitu, saya tidak pernah mau install KDE yang seperti es, bening tapi dingin dan keras.

Dengan DE yang ada, saya lebih sering menghabiskan waktu di Gnome dengan tampilan yang saya modifikasi sendiri, mulai dari shell hingga icon.

[caption id="attachment_3754" align="alignnone" width="700"]Ini adalah Desktop Gnome saya Ini adalah Desktop Gnome saya, cantik bukan?[/caption]

Tapi ternyata gnome belum siap, desktop selalu freeze kalau saya tidak sengaja meng-klik notifikasi yang muncul. Menyiksa. Notifikasi selalu saya akses dengan cara menggeser layar dari bawah ke atas.

2013 punya laptop baru setelah PC dijual ke Ibu buat nambahin biaya beli laptop. Karena bug-nya yang menyiksa, saya pindah ke LXDE yang saya install di Ubuntu 12.04. Kesannya lebih ringan dan irit resource, RAM cuma ngabisin 350 MB, ringan, jelas ringan. Ya walau gak terlalu enak dipandang sih.

[caption id="attachment_3755" align="alignnone" width="700"]904247_10200480534290230_210802574_o LXDE di laptop baru[/caption]

Merasa belum puas dengan ringannya LXDE, ketemu crunchbang, distro debian based dengan OpenBox sebagai Desktop Environment. Kesan OpenBox dengan asesoris ala crunchbang ringan, banget. Memang gak bisa bedain sih lebih ringan mana Crunchbang dengan Ubuntu + LXDE. Kalau lagi iseng, saya login ke OpenBox-nya saja tanpa asesoris ala crunchbang dan konsumsi RAM bisa dibawah 200 MB.

[caption id="attachment_3756" align="alignnone" width="700"]Crunchbang, ringan? Banget! Crunchbang, ringan? Banget![/caption]

Saya lalu mulai kesal dengan Crunchbang karena wifi sering error, meski sudah install driver dari broadcom. Niat balik ke Ubuntu, nemu elementary OS Luna yang masih satu turunan dengan Ubuntu. Kesannya adalah CANTIK! Tapi sayang Geary sering crash di sini. elementary ini tidak bertahan lama karena komunitasnya tidak sebanyak ubuntu, dan lama-lama juga ribet dengan desktop ala Mac dicampur Gnome itu.

[caption id="attachment_3758" align="alignnone" width="960"]Karena gak nemu backup Screenshot, jadi nyolong lagi dari sini http://www.linuxscreenshots.org/?release=elementary%20OS%200.2 . Cantik kan? Karena gak nemu backup Screenshot, jadi nyolong lagi dari sini http://www.linuxscreenshots.org/?release=elementary%20OS%200.2 . Cantik kan?[/caption]

Merasa tidak cocok dengan environment seperti itu, pindahlah saya ke Linux Mint 15 Olivia dengan desktop Cinnamon, desktop dengan teknologi terbaru dari Gnome 3 dan experience Gnome 2. Perpaduan yang menarik untuk dicoba. Setelah install, kesannya adalah "anjir, gak kemana-mana, gnome 3 kagak, gnome 2 kagak." sungguh di luar ekspektasi. Cinnamon gak greget sama sekali, mungkin saya terlalu berekspektasi tinggi.

[caption id="attachment_3759" align="alignnone" width="960"]Seperti inilah desktop Cinnamon, gambar nyolong lagi dari http://www.linuxscreenshots.org/?release=Linux%20Mint%2015%20Cinnamon Seperti inilah desktop Cinnamon, gambar nyolong lagi dari http://www.linuxscreenshots.org/?release=Linux%20Mint%2015%20Cinnamon[/caption]

Karena saya juga download Linux Mint 15 versi MATE buat jaga-jaga, akhirnya install versi MATE di laptop. Kesannya biasa saja, walau sempet nemu rasa yang dulu pernah ada tapi sepertinya sudah hampa. Tidak banyak yang saya lakukan dengan MATE saat itu.

Karena Linux Mint gak segreget Ubuntu, akhirnya saya install Ubuntu lagi di laptop dan install MATE, cukup lama dengan MATE lalu coba install Plasma 5, penerus KDE yang baru saja keluar versi alpha-nya, belum stabil. Balik lagi ke MATE.

Selanjutnya saya menghabiskan waktu dengan Gnome di Arch Linux yang tidak terlalu banyak modifikasi. Setelah lama kenal dengan sebut saja Pak Gogon, saya mulai membuka hati untuk KDE, memang bukan Plasma yang saya install seperti punyanya Pak Gogon, saya lebih memilih KDE 4 yang sudah bapuk dan sesekali balik ke Gnome.

Pencarian Saya Harus Diakhiri (mungkin)

Setelah insiden salah partisi, saya mencoba membuka hati sepenuhnya pada KDE 4 dengan menginstall Kubuntu 14.04 Trusty Tahr setelah dihantui Pak Gogon dan bisikan-bisikan setan lainnya yang selalu berbisik "give it a try, you'll love it", dan akhirnya benar, saya jatuh cinta pada KDE 4 ini. Dasar Pak Gogon setan!

Alasan saya mencintai KDE adalah masih bergunanya pointer untuk berpindah window aplikasi dengan cepat dan mudah dibanding Gnome. Lalu bagaimana dengan yang lain? MATE sudah tidak seperti Gnome 2, LXDE terlalu simple, xfce sudah kehilangan rasa, OpenBox? Terlalu malas buat konfigurasi. Bonusnya adalah widgets yang ready to use dan gak perlu install screenlets atau conky seperti yang saya lakukan dulu.

Inilah KDE, desktop yang ready to use dan meet my needs (untuk saat ini) dan masih setia pada ya kalau desktop ya harus seperti ini, gak berubah feel dan experience-nya sejak pertama kita bertemu di Knoppix dan berteman di PCLinuxOS.

[caption id="attachment_3760" align="alignnone" width="700"]KDE saya, PUAS. KDE saya, PUAS.[/caption]

Hidup KDE!