Sebuah Perjalanan

Sekedar cerita tentang bagaimana saya bisa menikah, karena saya memang bisa. Sebuah catatan singkat tentang perjalanan saya kenal hingga memutuskan menikahi seorang wanita, iya, wanita, yang sekarang sedang di dapur bikin permen jahe.

Saya kenal dengan istri saya lewat media sosial, dari Twitter karena entah kenapa saya bisa nimbrung-nimbrung di obrolan orang lain. Setelah interaksi di twitter, saya juga berinteraksi di forum game, Gamexeon namanya, karena ternyata kami sama-sama senang bermain game.

Pertemuan secara luring, bertemu tatap muka itu Sabtu pagi, 7 Mei 2011 di Terminal Giwangan, Yogyakarta. Saat itu saya ada panggilan interview dari perusahaan pengembang game yang ada di Yogyakarta dan saya meminta tolong untuk dijemput di terminal, karena hanya dia yang saya kenal di Yogyakarta dan punya nomor HP nya. Kemudian kami berteman baik.

Sekitar tahun 2012, setelah lebaran Idul Fitri saya bersilaturahmi ke rumahnya, sebenarnya cuma numpang istirahat karena waktu itu saya motoran dari Tasikmalaya ke Yogyakarta, sekedar numpang minum.

Tahun 2013 saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah, yang awalnya saya merencanakan kuliah di kampus swasta, tapi karena istri saya dulu kuliah di kampus negeri dan saya juga sudah kenal beberapa dosen di sana, akhirnya saya mencoba daftar di kampus negeri, dan puji Tuhan diterima. Ya, saya pernah sekelas dengannya dulu saat semester pertama.

Saya tidak ingat kapan tepatnya kami memutuskan untuk menjalani hubungan yang serius, karena waktu itu kami memang sudah dekat, hanya terucap “kita jalani saja dulu”, seperti itu kira-kira.

Lalu, kapan kami memutuskan untuk menikah? Awalnya saya tidak punya keberanian untuk itu, tapi dialah yang mewacanakan terlebih dahulu, banyak alasan yang membuat saya ragu untuk menikah, salah satunya karena saya masih kuliah dan belum lulus. Tapi setelah istri (yang waktu itu masih pacar saya) wisuda, saya coba untuk menumbuhkan keberanian dan tekad, apalagi setelah ayahnya memberikan lampu hijau untuk saya.

Beberapa bulan kemudian, saya curhat pada Bapak, kalau saya punya keinginan untuk melamar, dan waktu itu bapak saya hanya tanya “kamu yakin dengan pilihan kamu?” dan saya mengiyakan, kemudian saya curhat juga pada Ibu, ibu hanya menyiratkan bahwa saya harus lulus kuliah dulu baru boleh menikah. Saya ingin mempertemukan semuanya, orang tua saya dan orang tuanya.

Pada tanggal yang saya janjikan, saya ajak bapak untuk bersilaturahmi ke Banjar, hanya sekedar memperkenalkan dan mempertemukan orang tua, tanda bahwa saya serius. Di perjalanan, bapak saya bertanya “kamu yakin?” sekali lagi bapak bertanya hal yang sama, saya kembali mengiyakan, lalu dilanjut dengan pertanyaan “kalau kalian bapak nikahkan malam ini, mau?”, saya ragu karena Ibu saya belum bisa merestui kalau saya menikah sebelum lulus kuliah. Kemudian saya jawab “malam ini silaturahmi saja dulu, saling mengenal”.

Sesampainya di Banjar, kami hanya mengobrol biasa, hingga suatu waktu bapak saya bilang kalau perjalanan kami bertujuan untuk melamar, tentu saja saya kaget karena tidak sesuai yang direncanakan. Untung saja, malam itu saya membawa sepasang cincin perak, sekedar jaga-jaga kalau hal seperti ini terjadi, dan ternyata memang terjadi.

Sebuah Proses

Beberapa bulan kemudian, agak lama memang, kami kembali berkunjung ke Banjar, untuk menentukan tanggal pernikahan. Ditentukan 17 April 2017 sebagai tanggal akad nikah, sengaja hari Senin agar kerabat-kerabat yang kebanyakan PNS bisa mampir memenuhi undangan. Sejak hari itu saya sibuk mencari strategi, dan jujur saja saya belum ada tabungan sepeser pun, hanya beberapa barang yang mungkin bisa dijadikan bingkisan atau seserahan sederhana. Kembali rahmat Tuhan diturunkan, saya mendapatkan pekerjaan baru yang lebih baik, kelebihan gaji bulanannya bisa untuk tambahan tabungan.

Ibu melunak setelah melihat perjuangan saya untuk menikah, ibu menawarkan diri untuk membantu berbagai hal, mencari seserahan, hingga mas kawin. Ibu hanya menitipkan pesan agar saya bisa menjaga istri dengan baik, memberi rezeki yang layak, dan yang penting kuliah saya tidak ditinggalkan.

Sekitar sebulan sebelum tanggal pernikahan, kami mempersiapkan persyaratan administrasi untuk mendaftarkan tanggal pernikahan ke Kantor Urusan Agama. Hari Sabtu, kami pulang dari Yogyakarta ke Banjar untuk kemudian ke Tasikmalaya. Di perjalanan, kami mendapat kabar bahwa ayah (calon) istri saya meninggal, yang sebenarnya saya sudah dikabari sejak pagi tapi diminta untuk tidak menginformasikan dulu ke siapapun. Kemudian dia bertanya “kalau malam ini kita diminta dan dinikahkan di depan jenazah ayah, kamu siap?” dan saya menjawab siap.

Ayah, begitu saya panggil untuk calon mertua saya saat itu, pernah mengatakan bahwa ketika menjelang tanggal pernikahan, akan banyak godaan yang datang, cobaan untuk menguji tekad dan keikhlasan. Saya baru menyadari bahwa Tuhan memberikan cobaan begitu besar kepada kami, menguji apakah kami memiliki tekad yang kuat untuk menikah, dan kami tetap berjalan sesuai rencana. Semoga Tuhan merahmati, do’a kami.

Hari pernikahan kami hanya beda beberapa hari saja dari peringatan 40 hari meninggalnya ayah, kami menikah sederhana, hanya sahabat dan teman dekat yang kami undang, dan beberapa kerabat dari orang tua, tentu saja keluarga kami semua diundang.

100 Hari

Kemarin, 26 Juli 2017 sudah 100 hari kami bersama. Saya bersyukur istri saya adalah orang yang selalu bisa membuat saya tersenyum, bahagia? tentu saja! Saya tidak bisa menjelaskan apa saja yang bisa membuat saya sebahagia ini, ya walaupun sering juga saya kesal.

Istri saya adalah seorang aktivis, dia adalah anggota yayasan GNOME, sebuah yayasan non-profit yang berfokus pada pengembangan perangkat lunak bebas dan terbuka, pencetus Gerakan PASTI atau Gerakan Perempuan Sadar Teknologi, dan entah kegiatan apa lagi yang dia masuki demi mengisi waktu luangnya. Istri saya adalah orang yang senang membangun koneksi, memiliki kemampuan melobi yang baik, tidak jarang saya meminta tolong padanya kalau saya harus nego dengan calon client proyek kecil-kecilan dulu, walau berujung dengan tidak ‘deal’-nya proyek tersebut :grin:

Hari ini, kami sudah banyak menjalani cerita, belajar tentang apapun dalam kehidupan ini.

Dengan tulisan ini, saya berucap syukur saya memiliki istri yang baik, saya juga berterima kasih kepada Ibu, Bapak, Mama, Ayah, Mama, Ayah (Alm.), semua teman-teman, saudara-saudara, sahabat-sahabat yang telah banyak membantu kami selama ini (sengaja namanya tidak saya sebutkan agar tidak jadi riya :grin:), semoga kebaikan menyertai kita semua.

Ngomong-ngomong, dulu kami adalah sahabat baik, jadi dengan ini saya berhasil keluar dari yang namanya kutukan “Friendzoned”! :joy:

Terima kasih saya ucapkan sekali lagi, terima kasih juga untuk Siska Restu Anggraeny Iskandar sudah menemani dan berjuang bersama selama ini, semoga sehat selalu, kamu terbaik!

Foto-foto Kami

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska

Sendy & Siska